Generasi pertama matematika lahir dalam peradaban Mesir dan India. Metode matematika yang berkembang masih sangat bersahaja (teori ini mungkin bisa salah apabila dihadapkan pada kenyataan bahwa mereka sudah bisa membuat konstruksi piramida yang sudah pasti membutuhkan formulasi matematika yang rumit), dalam bentuk aplikasi perhitungan-perhitungan sederhana kehidupan sehari-hari, misalnya perhitungan pajak yang didasarkan luas tanah, utang-piutang dalam perdagangan, dan sebagainya. Mereka belum mengenal nama matematika.
Dalam perjalanannya, pada peradaban kuno Yunani, nama “Matematika” pertama kali diperkenalkan Pythagoras. Inilah generasi kedua dalam sejarah matematika. Beliau memasukkan material pertama ke dalam aras matematika modern, yakni aritmatika, cabang matematika yang membahas bilangan dan sistem operasinya. Setelah itu, Aristoteles melanjutkan perkembangan matematika dengan menambahkan cabang ilmu logika ke dalamnya. Di pihak lain, Euclid menambahkan geometri.
Generasi ketiga lahir pada masa peradaban Islam. Abu Ja’far Muhammad ibnu Musa Alkhwarizmi menyempurnakan logika-logika Aristoteles dengan menambahkan langkah-langkah metodik penyelesaian masalah. Selanjutnya, ini melahirkan cabang matematika yang kemudian terkenal dengan sebutan logaritma. Beliau juga dikenal sebagai penemu angka 0 dan notasi-notasi operasional aritmatika yang kemudian melahirkan cabang matematika bernama aljabar. Ada juga matematikawan bernama Umar Khayyam, yang menyempurnakan geometri dengan mengawinkannya dengan metode-metode aljabar.
Setelah peradaban Islam runtuh, peradaban Eropa berkembang sangat pesat. Tongkat estafet pun berpindah lagi dan melahirkan generasi keempat. Rene Descartes mengawalinya dengan memperkenalkan geometri analitis. Cabang matematika ini benar-benar mengawinkan geometri dan aljabar, dan merupakan bentuk sempurna dari metode Umar Khayyam. Beliau mengembangkan metode-metode penggambaran objek satu, dua, dan tiga dimensi dengan notasi-notasi nljabar. Geometri analitis kemudian disempurnakan lebih lanjut oleh Isaac Newton sehingga melahirkan cabang baru matematika yang disebut kalkulus. Metode ini mampu menggambarkan objek empat dimensi melalui fungsi deferensiasi dan integral. Sejauh ini, kalkulus adalah pencapaian matematika yang paling tinggi.
Ketakberhinggaan
Tiga abad telah berlalu sejak Newton menyampaikan kalkulus, belum ada masalah yang benar-benar tidak bisa dijelaskan matematika, kecuali ketakberhinggaan, yang telah berakar dari masa Pythagoras. Pythagoras adalah orang yang meyakini bahwa jagat raya adalah kumpulan harmoni musik yang sangat indah. Melalui instrumen musik, beliau menemukan hubungan antara angka-angka dan musik. Angka adalah simbol-simbol yang menyusun syair-syair alam. Gerakan benda-benda, planet-planet, dan bintang-gemintang di ruang angkasa bersatu-padu menghasilkan simfoni keharmonisan semesta. Selanjutnya, beliau mengubah bilangan-bilangan dari alat musiknya menjadi sebuah prinsip kehidupan yang pokok. Beliau lalu menyebut filosofi tersebut dengan nama “Matematika”.
Beliau berpandangan bahwa semua hal adalah susunan bilangan-bilangan yang sangat teratur. Beliau membagi sistem bilangan menjadi dua, yakni bilangan ganjil dan bilangan genap, yang masing-masing selalu berdiri sendiri. Akan tetapi, beliau lebih dikenal dengan Teorema Trigonometri tentang hubungan sisi-sisi pada segitiga siku-siku. Sayangnya, teorema ini justru satu-satunya penyebab rusaknya keharmonisan semesta beliau sendiri.
Pythagoras telah menemukan bahwa jumlah akar dari kuadrat panjang sisi-sisi pada segitiga siku-siku sama dengan panjang sisi miringnya. Pythagoras memisalkan hubungan teoremanya dengan susunan ubin-ubin persegi pada lantai. Misalnya ada segitiga siku-siku yang memiliki panjang sisi B sebesar 3 ubin dan panjang sisi C sebesar 4 ubin, maka agar diperoleh sudut siku-siku, 5 ubin harus terpasang tepat pada sisi A.
Suatu hari seorang pengikut Pythagoras, Hippasus, menemukan paradoks menjengkelkan yang menghancurkan kesimetrikan tersebut. Dalam sebuah pelayaran, dia menyusun 1 ubin untuk sisi B dan 1 ubin lagi untuk sisi C. Setelah diusahakan dengan susah-payah, ternyata harus ada ubin yang dipotong-potong untuk mengisi penuh sisi A, agar sisi B dan sisi C menjadi siku-siku. Dengan memakai prosedur yang sama, Hippasus menemukan bilangan yang bersifat genap dan ganjil secara bersamaan. Semua orang di kapal itu tidak bisa menemukan nilai pasti dari ubin yang harus memenuhi sisi A. Mereka pun sepakat untuk menyembunyikan eksperimen ini, namun tetap saja bocor.
Meskipun terkesan sepele, implikasi masalah ini sangat luar biasa. Semua upaya untuk menyatakan ubin A sebagai faksi bilangan utuh telah gagal. Ia bersifat genap dan ganjil secara bersamaan. Sampai sekarang, kita menyebut bilangan seperti itu sebagai bilangan irrasional, bilangan yang tak masuk akal. Meskipun ia disebut bilangan, tapi ia tidak bisa dituliskan. Bilangan yang bersifat genap dan ganjil secara serentak adalah paradoks, yang kemudian menimbulkan paradoks yang lebih membingungkan, The Achilles.
Pada masa Yunani kuno, hidup seorang filusuf yang bernama Zeno. Ia mengusulkan paradoks abadi yang terkenal dengan sebutan The Achilles. Achille adalah pelari tercepat di zamannya. Dia berupaya menangkap seekor kura-kura. Akan tetapi, ketika ia mencapai posisi dimana kura-kura mulai bergerak, si kura-kura ternyata telah jauh melampauinya. Lalu ia pun bergegas mengejarnya kembali, tetapi ketika ia sampai di posisi kura-kura kembali, tiba-tiba ia telah ditinggalkannya kembali. Dan ketika Achille berupaya mengejarnya kembali, kasus serupa pun terjadi dan terjadi lagi secara terus-menerus sampai tak terhingga. Sederhananya, yang bergerak cepat tidak akan pernah menyalip yang bergerak lambat, hanya jarak yang memisahkan mereka akan semakin berkurang, namun tidak akan pernah habis sama sekali. Ini seperti memasukkan segitiga-segitiga agar memenuhi suatu lingkaran. Tidak ada orang yang bisa dengan pasti menghitung seberapa banyak segitiga yang dibutuhkan untuk mengisi seluruh ruang lingkaran, atau sampai kapan Achille akan mendapatkan kura-kura tersebut. Paradoks ini sampai sekarang belum terpecahkan.
Dua Metode
Untuk melihat seberapa besar nilai ketakberhinggaan itu, cara pandang kita terhadap bilangan tersebut harus diubah total. Berdasarkan prinsip keberpasangan, angka 0 berpasangan dengan angka ∞, karena sifat-sifat di antara kedua bilangan itu saling bertolak-belakang. Angka 0 mewakili situasi sistem yang kosong dan angka ∞ mewakili situasi sistem yang penuh. Bukti matematis kebertolakbelakangan tersebut adalah persamaan 0=1/∞ atau ∞=1/0. Oleh karena itu, matematika dibagi dalam dua sistem yang saling berpasangan, yakni matematika yang berpusat pada angka netral 0 dan matematika yang berpusat pada angka netral ∞. Jenis matematika yang kedua disebut “Matematika Inversi”.
Sekarang ambillah satu gelas kosong ukuran 200 cc dan segenggam biji beras seukuran 200 cc pula, dan letakkan keduanya di atas meja berdampingan. Andaikata ada suatu pertanyaan yang mencuat, berapa jumlah segenggam biji beras yang bisa memenuhi gelas seukuran 200 cc? Maka mulailah Anda menghitungnya!
Biji-biji beras yang sedang kita bicarakan bisa dikatakan sebagai objek diskrit yang bisa diwakili angka-angka. Apabila Anda ingin menghitung segenggam biji beras 200 cc dengan cara mencocokkannya dengan gelas seukuran 200 cc, ada dua cara yang bisa Anda gunakan. Pertama, Anda bisa menghitung dengan cara memasukkan satu per-satu biji-biji beras dari atas meja ke dalam gelas. Anda harus memastikan bahwa tidak ada satu pun biji beras yang terlewat. Cara yang kedua, Anda bisa memasukkan semua biji beras yang ada di atas meja ke dalam gelas terlebih dahulu, lalu Anda akan mengeluarkannya kembali satu per-satu sambil menghitungnya tanpa melewatkannya satu pun. Anda akan mendapatkan jumlah beras yang tepat sama untuk kedua metode tersebut, dengan catatan tidak ada biji beras yang terlewatkan atau jatuh tercecer.
Metode pertama adalah Matematika konvensional yang biasa kita gunakan sehari-hari. Matematika ini akan mulai menghitung dari angka 0 kemudian 1, 2, 3, 4 dan seterusnya. Angka-angka ini berstatus positif. Apabila Anda tidak memiliki beras dan uang sama sekali, sedangkan Anda ingin memasukkan beras ke dalam gelas kosong tersebut untuk kemudian dimasak, maka satu-satunya cara yang benar adalah meminjam beras kepada orang lain. Maka, beras-beras hasil pinjaman yang masuk ke dalam gelas kemudian akan berstatus negatif. Sistem ini telah sangat maklum dalam kehidupan kita sehari-hari.
Metode yang kedua memandang angka ∞ sebagai pusat bilangan. Anda akan mulai menghitung biji-biji beras dari keadaan gelas penuh, lalu Anda akan menghitungnya dari angka ∞ kemudian 1, 2, 3, 4 dan seterusnya. Angka-angka ini akan berstatus positif. Suatu kali teman Anda akan memberikan segenggam berasnya kepada Anda. Apabila Anda hanya mengetahui gelas saja sebagai tempat menyimpan beras, sedang gelas Anda masih terisi penuh beras, maka meskipun Anda menerima beras pemberian itu, Anda tidak akan bisa memasukkannya ke dalam beras. Anda akan mengatakan: “Tolong simpan dulu beras itu, nanti akan saya ambil kalau gelas saya sudah kosong”. Maka, beras-beras itu akan berstatus negatif. Sistem ini bertolakbelakang dengan matematika yang biasa kita kenal. Oleh karena itu, sistem ini bisa dikatakan sebagai bentuk terbalik dari matematika konvensional atau matematika inversi.
Analogi di atas mengejutkan kita yang selama ini merasa aman dengan hanya mempergunakan suatu bagian dalam sistem matematika universal. Dalam kasus The Achilles, seorang pelari tercepat tidak bisa mengejar seekor kura-kura terlambat karena ia terkungkung oleh aturan, ketika A mencapai X maka B harus mencapai Y. Achille dan kura-kura berada dalam dua sistem diskret yang berbeda, dimana diskret yang satu bertalian dengan fungsi waktu yang lebih cepat sedangkan diskret yang lain bertalian dengan fungsi waktu yang jauh lebih lambat. Dua fungsi ini diperhitungkan akan bertemu di suatu ujung waktu di masa depan. Kalau metode inversi digunakan, tidak ada paradoks apapun dalam persoalan ini.
Sekarang mulailah dengan menentukan jarak tempuh yang mungkin untuk kedua objek diskret tersebut, misalnya sepanjang jalan yang menghubungkan kota Athena sampai Sparta. Kalau kejar-kejaran itu dimulai dari kota Athena, maka maka fungsi waktu kedua objek tersebut akan bertemu di gerbang kota Sparta. Jarak diantara dua gerbang ini merupakan representasi sistem alam secara keseluruhan (begitu juga gelas yang dibicarakan dalam analogi). Gerbang kota Athena disebut “0″ dan gerbang kota Sparta disebut “∞”, sedangkan kedua angka ini berada dalam sistemnya masing-masing yang bisa saling berkonversi. Apabila digambarkan dalam suatu kurva virtual, kejar-kejaran antara Achille dan kura-kura akan bermula dari gerbang kota Athena sebagai 0 dan akan berakhir di gerbang kota Sparta sebagai ∞. Jadi, jelaslah definisi awal dan akhir dari kasus tersebut, tidak ada lagi ketakberhinggaan.
Matematika inversi, saya kira, bisa dikembangkan lebih jauh dalam bidang-bidang matematika yang lain, seperti geometri, aljabar, dan kalkulus. Dan ini hanya bisa dilakukan kalau generasi ini sedikit memodifikasi mindset, dengan berpikir dari dua arah berbeda yang saling bertalian, berpasangan, dan saling bertolakbelakang, namun juga saling melengkapi satu sama lain. Selamat berpikir!