Membanggakan
Ina-TEWS memang sebuah sistem yang sangat membanggakan, karena hanya dalam waktu yang relatif singkat yaitu kurang lebih 3 tahun berhasil dikembangkan. Dengan kemampuan saat ini yang bisa memberikan peringatan tsunami dalam waktu 5 menit setelah terjadinya gempa, Ina-TEWS dianggap sebagai salah satu sistem yang handal di dunia khususnya dikawasan Samudera Hindia. Dengan tiga pilar utama institusi, yaitu Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) untuk Seismic monitoring, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dan Bakosurtanal untuk Oceanographic monitoring, sistem ini diharapkan mampu memberitahu masyarakat bahwa gempa yang terjadi berpotensi menimbulkan tsunami. Dan sebaliknya sistem ini juga sanggup menyatakan bahwa gempa yang terjadi tidak menimbulkan tsunami.
Pada dasarnya Sistem ini diawali dengan Informasi yang disampaikan oleh BMKG tentang adanya gempa dengan besar kekuatan dalam skala Richter, waktu kejadian sampai satuan detik, lokasi dan kedalaman pusat gempa, serta berpotensi atau tidaknya mendatangkan bencana tsunami, dan kemudian akan dikonfirmasi oleh kedua institusi selanjutnya. Secara sederhana bisa disampaikan, apabila terjadi lagi gempa dengan kekuatan dan lokasi sumber gempa seperti di Aceh dan Pangandaran yang menyebabkan Tsunami, maka masyarakat dalam waktu 5 menit bisa diperingatkan dan masih ada selisih waktu kurang lebih 30 s/d 40 menit untuk bisa menyelamatkan diri. Hal ini memungkinkan karena waktu tempuh yang diperlukan oleh Gelombang pertama tsunami mencapai daratan yang rata-rata berjarak 250 km adalah antara kurang lebih 35 s/d 45 menit. Dengan kondisi ini, diharapkan dampak dari tsunami bisa diminimalisir khususnya korban jiwa yang sangat tidak diinginkan.
Integrasi Data dan Informasi
Sistim Peringatan Dini Tsunami ini banyak menggunakan pertukaran dan pengintegrasian data yang dihasilkan oleh sensor yang berbeda yang diletakkan ditempat yang berbeda pula. BMKG menempatkan Seismometer untuk memonitor gempa ditempat-tempat daratan yang rigid dan terpencil atau sepi (untuk mengurangi noise). BPPT menempatkan Wahana Apung (Tsunameter atau tsunami-Buoy) di sekitar kawasan dilaut yang ditengarai sebagai rawan gempa. Bakosurtanal menempatkan Tide-Gauge lebih banyak di tepi pantai untuk memonitor tinggi pasang surut air laut, disamping keberadaan jejaring GPS (Geographycal Positioning System) untuk memantau pergerakan lempeng bumi di lokasi-lokasi yang ditentukan. Seluruh Jejaring Seismometer di Indonesia akan mengirimkan data langsung ke Pusat Nasional dan Pusat Regional. Saat ini ada 10 regional di seluruh Indonesia yaitu di Aceh, Padang, Ciputat, Jogja, Denpasar, Kupang, Makassar, Ambon, Manado dan Jayapura.
Disadari bahwa Pertukaran dan Pengintegrasian Data bukan merupakan hal yang mudah. Itulah salah satu sebab, saat ini dimanapun di dunia, sistim peringatan dini bencana khususnya tsunami menggunakan asas redudancy (pengulangan), dalam arti selalu ada cadangan atau alternatif lain yang mendukung apabila salah satu komponen tidak berjalan dengan semestinya karena berbagai sebab. Sebagai contoh, Pusat Regional akan berfungsi sebagai Pusat Nasional, apabila terjadi sesuatu di Pusat Nasional.
Dalam kaitan integrasi data, disamping mengharapkan data konfirmasi dari Tsunameter yang dikembangkan dan dipasang oleh BPPT serta Tide Gauges oleh Bakosurtanal , saat ini BMKG juga menggunakan Tsunami Database sebagai acuan lain. Untuk penggunaan tsunami database, apabila terjadi gempa didaerah tertentu maka database yang berisi sejarah kejadian tsunami didaerah tersebut akan memberikan tambahan acuan untuk memutuskan ada tidaknya potensi tsunami. Hal ini diharapkan akan menambah “amunisi” dasar perhitungan yang kuat bagi petugas di BMKG untuk menentukan berpotensi atau tidaknya gempa yang terjadi menimbulkan tsunami.
Kelembagaan.
Pertukaran dan Pengintegrasian Data bisa dipermudah dengan Pertukaran dan pengintegrasian Informasi. Untuk mengubah data menjadi informasi, dibutuhkan Pakar-pakar dibidang masing-masing. Menggarisbawahi bahwa waktu yang tersedia untuk menyelamatkan masyarakat dari bencana tsunami di Indonesia sangatlah singkat, seluruh pertukaran dan pengintegrasianpun harus dilakukan secepat dan seakurat mungkin. Artinya harus meminimalisir faktor dan tingkat kesulitan yang ada. Faktor dan tingkat kesulitan dalam mengembangkan konsep pengintegrasian data lebih banyak menyangkut pada pengintegrasian server sebagai kotak data. Tetapi pertukaran dan pengintegrasian informasi, lebih kepada “penyatuatapan” pakar masing-masing dalam sebuah manajemen. Hal ini penting dilakukan mengingat keterbatasan waktu yang dibutuhkan untuk segera memberikan keputusan ada tidaknya bencana tsunami disamping koordinasi yang memang masih agak sulit untuk dilaksanakan.
Untuk meminimalisir faktor dan tingkat kesulitan dalam pertukaran dan pengintegrasian baik data ataupun informasi, langkah yang paling tepat untuk segera dilaksanakan adalah Pengembangan Pusat Peringatan Tsunami Nasional (National Tsunami Warning Center /NTWC). Dengan dikembangkannya NTWC ini, seluruh pakar maupun jejaring peralatan terkait, akan berada dalam satu kesatuan manajerial. Lembaga seperti ini juga dikembangkan di negara lain seperti Pacific Tsunami Warning Center (PTWC) di Amerika Serikat.
0 komentar:
Posting Komentar